Senjata Baru Eropa Menghadapi Silicon Valley:

 

Membedah Taji Digital Markets Act (DMA) dan DSA



Ketika Sang Raksasa Mulai Merasa Tercekik

Kita hidup di dunia yang dikuasai oleh segelintir perusahaan teknologi raksasa—sering disebut Big Tech. Nama-nama seperti Google, Meta (Facebook/Instagram), Apple, Amazon, dan Microsoft bukan hanya sekadar perusahaan, mereka adalah infrastruktur dasar kehidupan modern: gerbang tempat kita bekerja, berkomunikasi, dan berbelanja.

Namun, dominasi mutlak ini mulai menimbulkan masalah. Ketika satu perusahaan menguasai gerbang, mereka bisa menentukan aturan main, memblokir pesaing, dan pada akhirnya, merugikan konsumen.

Di tengah situasi inilah, Uni Eropa (UE) meluncurkan "senjata" terbarunya: dua regulasi kembar yang diberi nama Digital Markets Act (DMA) dan Digital Services Act (DSA). Regulasi ini bukan hanya selembar kertas; ia adalah gempa bumi regulasi yang memaksa Silicon Valley untuk beradaptasi, bergetar, atau membayar denda triliunan Rupiah.

Artikel ini akan membedah mengapa kedua Undang-Undang ini begitu penting, bagaimana mereka bekerja, dan mengapa mereka menjadi cetak biru regulasi digital di seluruh dunia—termasuk di Indonesia.


Mengenal Senjata Eropa: Siapa DMA dan Siapa DSA?

Meski sering disebut bersamaan, DMA dan DSA memiliki fokus tugas yang berbeda, seperti dua divisi dalam satu tentara digital.

1. DMA: Sang Pembongkar Gerbang (The Gatekeeper Buster)

  • Fokus Utama: Persaingan Pasar (Competition) dan Anti-Monopoli.
  • Analoginya: DMA adalah Satuan Anti-Monopoli yang bertugas menuntut raksasa teknologi yang memiliki posisi dominan untuk membuka gerbang pasar mereka.
  • Targetnya: Perusahaan yang ditetapkan sebagai "Gatekeeper" (Penjaga Gerbang). Sebuah perusahaan disebut Gatekeeper jika memiliki omzet tahunan tertentu di Eropa, memiliki pengaruh signifikan di pasar, dan mengoperasikan layanan platform inti di minimal tiga negara anggota UE. Big Tech yang masuk daftar ini termasuk Alphabet (Google), Meta, Apple, Amazon, ByteDance, dan tentu saja, Microsoft.

2. DSA: Sang Polisi Konten dan Penjaga Tanggung Jawab

  • Fokus Utama: Tanggung Jawab Platform dan Konten Online (Keamanan Digital).
  • Analoginya: DSA adalah Polisi Lalu Lintas dan Keamanan di dunia maya. Tugasnya memastikan konten yang beredar aman, legal, dan platform bertanggung jawab atas apa yang disebarkan.
  • Targetnya: Semua penyedia layanan digital, mulai dari website kecil hingga platform sangat besar (Very Large Online Platforms/VLOPs) seperti TikTok, YouTube, atau Facebook.

DMA: Memaksa Raksasa Berbagi Kue dan Kekuasaan

DMA bertujuan untuk menciptakan lapangan bermain yang setara (level playing field) bagi semua bisnis, besar maupun kecil. Untuk mencapai ini, DMA menerapkan serangkaian larangan dan kewajiban yang sangat spesifik bagi para Gatekeeper.

Tuntutan Utama DMA (Kewajiban)

DMA memaksa Gatekeeper melakukan hal-hal yang selama ini mereka tolak keras:

  1. Interoperabilitas (Keterhubungan): Ini mungkin tuntutan paling revolusioner. DMA mewajibkan layanan pesan instan besar (seperti WhatsApp atau iMessage) untuk dapat 'berbicara' dengan layanan pesan instan pihak ketiga. Bayangkan, Anda bisa mengirim pesan dari WhatsApp ke Telegram tanpa perlu kedua aplikasi tersebut terinstal. Tuntutan ini secara langsung memecah isolasi ekosistem yang dibangun raksasa teknologi.
  2. Akses Data Bisnis: DMA mewajibkan Gatekeeper untuk memberikan akses yang adil kepada pengguna bisnis (misalnya penjual di e-commerce atau pengiklan) terhadap data yang dihasilkan oleh aktivitas mereka di platform. Ini mencegah Gatekeeper menyembunyikan data yang dapat digunakan pesaing untuk bersaing lebih baik.
  3. Memperbolehkan Toko Aplikasi Pihak Ketiga (Sideloading): Ini menargetkan Apple dan Google. DMA memaksa mereka mengizinkan pengguna menginstal aplikasi dari sumber lain selain App Store atau Play Store resmi, serta membiarkan sistem pembayaran alternatif. Tuntutan ini melemahkan kontrol Apple dan Google atas distribusi aplikasi dan aliran uang.

Larangan Keras DMA (The Don’ts)

DMA juga melarang praktik-praktik yang selama ini menjadi andalan Gatekeeper untuk mempertahankan monopoli:

  • Larangan Self-Preferencing: Gatekeeper tidak boleh memprioritaskan produk atau layanan mereka sendiri di hasil pencarian. Contoh paling jelas: Google tidak boleh selalu menempatkan produk Google Maps atau Google Shopping di posisi teratas hasil pencarian web. Pelanggaran ini adalah inti dari investigasi yang sedang berjalan terhadap Alphabet.
  • Larangan Bundling Paksa: Gatekeeper tidak boleh mencegah pengguna menghapus aplikasi atau perangkat lunak bawaan (pre-installed) yang mereka tidak inginkan. Ini adalah pukulan langsung ke taktik yang dulu digunakan Microsoft dalam kasus Windows Media Player (yang akan kita bahas di artikel selanjutnya).
  • Larangan Anti-Pengarahan (Anti-Steering): Gatekeeper tidak boleh mencegah penggunanya (terutama bisnis) untuk terhubung dengan penawaran di luar platform mereka. Contoh: Apple tidak boleh melarang pengembang aplikasi mengarahkan pengguna untuk membeli layanan di website luar dengan harga yang lebih murah.

Sanksi: Jika terbukti melanggar DMA, raksasa teknologi bisa didenda hingga 10% dari omzet tahunan global mereka. Untuk perusahaan sekelas Google atau Apple, angka ini bisa mencapai puluhan miliar Dolar AS—sebuah ancaman yang sangat nyata.


DSA: Mengendalikan Kekuatan Algoritma dan Konten Ilegal

DSA bergerak di ranah sosial dan etika, memastikan bahwa kekuatan Big Tech tidak merusak demokrasi, kesehatan mental, dan keamanan publik.

Tanggung Jawab Konten Ilegal (Prinsip: Apa yang Ilegal Offline Harus Ilegal Online)

DSA menetapkan kewajiban yang jelas bagi platform untuk lebih cepat dan transparan dalam menghapus konten ilegal (seperti hate speech, penipuan, atau produk palsu) segera setelah mereka mengetahuinya.

Transparansi Algoritma (Memaksa Membuka Kotak Hitam)

Ini adalah inti dari DSA. Regulasi ini memaksa platform raksasa (VLOPs) untuk:

  1. Menjelaskan Cara Kerja Algoritma: Mereka harus menjelaskan kepada pengguna mengapa konten tertentu direkomendasikan kepada mereka dan bagaimana mekanisme penargetan iklan bekerja.
  2. Menawarkan Opsi Non-Algoritma: Platform harus menyediakan setidaknya satu opsi rekomendasi konten yang tidak didasarkan pada profiling pengguna (misalnya, feed kronologis sederhana).
  3. Audit Risiko: Platform wajib melakukan penilaian risiko sistemik tahunan terhadap layanan mereka (misalnya, risiko terhadap kesehatan mental, demokrasi, dan disinformasi) dan mengambil langkah mitigasi.

DSA bertujuan untuk mengikis tirani algoritma yang selama ini beroperasi sebagai "kotak hitam" tanpa diawasi.


Dampak dan Reaksi: Kegaduhan di Silicon Valley

Penerapan DMA dan DSA telah menimbulkan gejolak besar:

1. Reaksi Apple: Kritik Keras demi Keamanan

Apple menjadi salah satu pengecam paling vokal terhadap DMA. Mereka berargumen bahwa kewajiban sideloading dan sistem pembayaran alternatif akan membahayakan privasi dan keamanan pengguna iPhone, karena membuka pintu bagi malware dan penipuan di luar App Store yang selama ini mereka kontrol ketat. Akibatnya, beberapa fitur baru Apple terpaksa ditunda atau dibatasi peluncurannya di Eropa.

2. Investigasi Meta dan Alphabet

Komisi Eropa telah membuka investigasi formal terhadap Meta (atas model subscribe tanpa iklan yang dianggap memaksa pengguna membayar demi privasi) dan Alphabet (atas praktik self-preferencing produk Google di mesin pencari). Ini menunjukkan bahwa UE tidak gentar untuk segera bertindak begitu batas waktu kepatuhan terlewati.

3. Microsoft: Menghindari Sorotan dengan Cepat Berubah

Microsoft, belajar dari sejarah panjangnya dengan regulator Eropa (kasus Windows Media Player di awal 2000-an), cenderung bersikap lebih kooperatif. Mereka bergerak cepat untuk menyesuaikan produk seperti Windows dan Teams agar mematuhi aturan anti-bundling DMA, demi menghindari denda yang besar.


Eropa Sebagai Mercusuar Regulasi Digital

DMA dan DSA menandai era baru di mana pemerintah berani mengambil alih kontrol dari Big Tech. Regulasi ini menegaskan bahwa: Kekuatan pasar yang besar harus diiringi dengan tanggung jawab yang besar pula.

Eropa, melalui dua undang-undang ini, kini menjadi mercusuar global dalam tata kelola digital. Negara-negara lain, termasuk Indonesia, sedang aktif mengkaji dan menyesuaikan prinsip-prinsip DMA/DSA untuk diterapkan dalam regulasi domestik mereka.

Melalui DMA, Eropa memastikan bahwa inovasi bukan hanya milik Big Tech, tetapi terbuka bagi siapa pun yang ingin bersaing. Melalui DSA, Eropa menjamin bahwa platform digital tidak menjadi tempat berkembang biaknya kekerasan, disinformasi, dan kerugian sosial.

Ini bukan sekadar pertarungan hukum, ini adalah perebutan kekuasaan untuk menentukan masa depan demokrasi, pasar, dan informasi di era digital. Dan kali ini, Benua Biru menunjukkan taringnya dengan sangat jelas.


Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak